Setelah 50 tahun lebih Simone de Beauvoir menulis tentang wanita yang selalu menjadi warga kelas dua dalam the Second Sex, tibalah pada masa kini dimana emansipasi dianggap sudah tidak diperlukan lagi. Masa kini dimana hak wanita kini sudah ‘lebih’ diakui di mata laki-laki hingga membuat laki-laki yang hidup di jaman sekarang menjadi laki-laki yang lebih ‘toleran’ dan ‘adil’ dibanding laki-laki di jaman Beauvoir atau RA Kartini. Hak untuk mendapat pendidikan, hak politik untuk dipilih dan memilih, serta hak mendapatkan penghasilan yang sama dengan laki-laki untuk beban kerja yang sama, sekarang akhirnya sudah dikembalikan pada empunya hingga kini pertanyaannya adalah apakah wanita telah sampai di ujung perjuangan emansipasinya?
Banyak yang berkata bahwa emansipasi itu sudah menjamur dan tidak diperlukan lagi, diikuti dengan penyebutan contoh-contoh keberhasilan perjuangan emansipasi wanita Indonesia, salah satunya adalah terpilihanya Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden RI tahun 2001-2004. Tapi apa benar wanita Indonesia sudah memiliki pilihan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki?
Dengan modal IQ yang rata-rata sama, wanita dibekali ketekunan yang lebih tinggi dari pada laki-laki, tapi cukup mengherankan bahwa hanya sedikit wanita yang bisa sampai pada puncak kariernya. Terlebih jika melihat ranking IPK tertinggi pada kelulusan yang biasanya didominasi oleh wanita, tidakkah terbersit pikiran untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi hingga mereka pada akhirnya tidak dapat mempertahankan pencapaiannya untuk tetap berada di puncak klasemen?
Mungkin salah satu alasannya adalah sampai saat ini wanita tetap dihadapakan pada pilihan untuk memilih antara karier dan keluarga. Hasri Ainun Besari seorang yang dikenal sangat pandai di kelasnya dulu hingga kepandaiannya dianggap setara dengan BJ Habibie, yang kelak menjadi suaminya, oleh guru-gurunya semasa di sekolah, adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selepas lulus menjadi dokter umum, Ainun, yang selanjutnya lebih dikenal dnegan nama Ainun Habibie, melanjutkan pendidikannya untuk menjadi dokter spesialis Anak di Universitas yang sama. Sayangnya, setelah menikah dengan Habibie, Ainun harus rela berhenti dari pendidikannya dan memilih untuk mendampingi Habibie terbang ke Jerman. Di fase hidupnya yang selanjutnya Ainun yang rindu untuk dapat mempraktekkan keilmuannya, kembali menjadi dokter setelah mendapat restu dari Habibie sehingga bekerja lah ia di suatu Rumah Sakit di Jerman. Namun, baru beberapa saat bekerja Ainun memutuskan untuk menyerah menjadi dokter, kali ini untuk selamanya, karena tak tega melihat anaknya yang tidak terurus. Ainun kemudian lebih dikenal kiprahnya sebagai seorang istri dan ibu yang penuh cinta kasih dan pengertian yang terus mendampingi suaminya hingga di akhir hayatnya, dibanding sumbangan dan pengabdian di bidang keilmuannya. Pilihan Ainun dianggap sebagai hal yang wajar karena ia mengikuti kodratnya sebagai wanita, yang terlahir untuk setia dan welas asih bukan untuk melakukan pekerjaan yang lain.
Wanita yang bekerja sering disalahkan karena anak-anak yang tidak terurus atau laki-laki yang selingkuh. Istri yang sibuk bekerja dan menjadi kurang perhatian pada suami adalah pembenaran yang umum didengar dari laki-laki yang berselingkuh. Mungkin seorang boleh bertanya, seberapa besar perhatian yang sebenarnya dibutuhkan laki-laki hingga ia tidak mungkin berselingkuh? Bukankah seorang laki-laki yang sudah berpoligami malah cenderung untuk terus dapat menambah istrinya? Apakah benar kerinduan belaka ataukah keserakahan yang tidak diakui semata yang menjadi alasan utama perselingkuhan?
Mungkin di antara kita banyak yang heran, pada jaman yang sekarang sudah ‘setara’ ini, mengapapengguguran kandungan lebih sering pada bayi perempuan daripada bayi laki-laki? Mengapa banyak orang yang menolak kontrasepsi dengan alasan menunggu kelahiran seorang putra? Mengapa banyak yang lebih mengidamkan kelahiran bayi laki-laki daripada bayi perempuan? Seorang laki-laki tidak pernah dihadapkan pada pertanyaan apa yang akan ia pilih antara karir atau keluarga, semata-mata karena ia adalah laki-laki.
Laki-laki tidak akan pernah disalahkan karena anak-anak yang kurang perhatian atau keluarga yang carut marut. Bukankah tugas utama laki-laki adalah untuk mencari nafkah? Bukankah laki-laki terlahir untuk lebih berpikir daripada merasakan? Bukankah wajar bila laki-laki yang giat bekerja lalu tidak dapat mengurus keluarganya? Bukankah itu kodratnya?
Kodrat adalah garisan takdir yang secara umum telah didogmakan agama secara membabi-buta pada penganutnya, percaya tidak percaya, ya harus percaya. Baik itu Al-Qur’an, Al Kitab, Tripitaka, dan kitab-kitab lain yang pernah ditulis sebagai panutan agama, wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang menjadi lem pada cangkir bukan teko yang memberi air. Tidakkah anjuran ini terdengar sangat memihak ketika kita tahu bahwa para nabi yang menyampaikan ajarannya adalah laki-laki? Mungkinkah mereka menyampaikan sesuatu yang tidak menguntungkan bagi kaumnya? Lalu apa yang dapat kita jadikan bukti, jika Tuhan memang ada, bahwa perkataan itu adalah perkataan Tuhan yang tidak memiliki keberpihakan ketika dalam agama tertentu Tuhan dikenal berjenis kelamin pria? Tidakkah sedikit pun itu mengganggu kita bagaimana sejak jaman dulu panutan yang kita taati tanpa bertanya mungkin saja sengaja dibuat untuk menguntungkan kaum lain dan menundukkan kaum yang lainnya?
Bahkan menurut bahasa Jawa, wanita adalah singakatan dari wani ditata atau berani untuk diatur. Kitab-kitab Jawa tidak ada yang ditulis oleh seorang wanita, besar kemungkinan karena wanita tidak pernah mendapat pendidikan dengan alasan ujung-ujungnya hanya disuruh untuk mengurus suami dan anak. Pemikiran yang kita anggap bodoh pada masyarakat jaman dulu tapi ironis kalau kita tahu bahwa sekarang para sarjana, para insinyur, para dokter, para pengacara memilih untuk menelantarkan karirnya dan kembali pada kodratnya untuk mengurus anak dan suami. Pilihan yang sesuai kodratnya.
Banyak yang berkata bahwa emansipasi itu sudah menjamur dan tidak diperlukan lagi, diikuti dengan penyebutan contoh-contoh keberhasilan perjuangan emansipasi wanita Indonesia, salah satunya adalah terpilihanya Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden RI tahun 2001-2004. Tapi apa benar wanita Indonesia sudah memiliki pilihan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki?
Dengan modal IQ yang rata-rata sama, wanita dibekali ketekunan yang lebih tinggi dari pada laki-laki, tapi cukup mengherankan bahwa hanya sedikit wanita yang bisa sampai pada puncak kariernya. Terlebih jika melihat ranking IPK tertinggi pada kelulusan yang biasanya didominasi oleh wanita, tidakkah terbersit pikiran untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi hingga mereka pada akhirnya tidak dapat mempertahankan pencapaiannya untuk tetap berada di puncak klasemen?
Mungkin salah satu alasannya adalah sampai saat ini wanita tetap dihadapakan pada pilihan untuk memilih antara karier dan keluarga. Hasri Ainun Besari seorang yang dikenal sangat pandai di kelasnya dulu hingga kepandaiannya dianggap setara dengan BJ Habibie, yang kelak menjadi suaminya, oleh guru-gurunya semasa di sekolah, adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selepas lulus menjadi dokter umum, Ainun, yang selanjutnya lebih dikenal dnegan nama Ainun Habibie, melanjutkan pendidikannya untuk menjadi dokter spesialis Anak di Universitas yang sama. Sayangnya, setelah menikah dengan Habibie, Ainun harus rela berhenti dari pendidikannya dan memilih untuk mendampingi Habibie terbang ke Jerman. Di fase hidupnya yang selanjutnya Ainun yang rindu untuk dapat mempraktekkan keilmuannya, kembali menjadi dokter setelah mendapat restu dari Habibie sehingga bekerja lah ia di suatu Rumah Sakit di Jerman. Namun, baru beberapa saat bekerja Ainun memutuskan untuk menyerah menjadi dokter, kali ini untuk selamanya, karena tak tega melihat anaknya yang tidak terurus. Ainun kemudian lebih dikenal kiprahnya sebagai seorang istri dan ibu yang penuh cinta kasih dan pengertian yang terus mendampingi suaminya hingga di akhir hayatnya, dibanding sumbangan dan pengabdian di bidang keilmuannya. Pilihan Ainun dianggap sebagai hal yang wajar karena ia mengikuti kodratnya sebagai wanita, yang terlahir untuk setia dan welas asih bukan untuk melakukan pekerjaan yang lain.
Wanita yang bekerja sering disalahkan karena anak-anak yang tidak terurus atau laki-laki yang selingkuh. Istri yang sibuk bekerja dan menjadi kurang perhatian pada suami adalah pembenaran yang umum didengar dari laki-laki yang berselingkuh. Mungkin seorang boleh bertanya, seberapa besar perhatian yang sebenarnya dibutuhkan laki-laki hingga ia tidak mungkin berselingkuh? Bukankah seorang laki-laki yang sudah berpoligami malah cenderung untuk terus dapat menambah istrinya? Apakah benar kerinduan belaka ataukah keserakahan yang tidak diakui semata yang menjadi alasan utama perselingkuhan?
Mungkin di antara kita banyak yang heran, pada jaman yang sekarang sudah ‘setara’ ini, mengapapengguguran kandungan lebih sering pada bayi perempuan daripada bayi laki-laki? Mengapa banyak orang yang menolak kontrasepsi dengan alasan menunggu kelahiran seorang putra? Mengapa banyak yang lebih mengidamkan kelahiran bayi laki-laki daripada bayi perempuan? Seorang laki-laki tidak pernah dihadapkan pada pertanyaan apa yang akan ia pilih antara karir atau keluarga, semata-mata karena ia adalah laki-laki.
Laki-laki tidak akan pernah disalahkan karena anak-anak yang kurang perhatian atau keluarga yang carut marut. Bukankah tugas utama laki-laki adalah untuk mencari nafkah? Bukankah laki-laki terlahir untuk lebih berpikir daripada merasakan? Bukankah wajar bila laki-laki yang giat bekerja lalu tidak dapat mengurus keluarganya? Bukankah itu kodratnya?
Kodrat adalah garisan takdir yang secara umum telah didogmakan agama secara membabi-buta pada penganutnya, percaya tidak percaya, ya harus percaya. Baik itu Al-Qur’an, Al Kitab, Tripitaka, dan kitab-kitab lain yang pernah ditulis sebagai panutan agama, wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang menjadi lem pada cangkir bukan teko yang memberi air. Tidakkah anjuran ini terdengar sangat memihak ketika kita tahu bahwa para nabi yang menyampaikan ajarannya adalah laki-laki? Mungkinkah mereka menyampaikan sesuatu yang tidak menguntungkan bagi kaumnya? Lalu apa yang dapat kita jadikan bukti, jika Tuhan memang ada, bahwa perkataan itu adalah perkataan Tuhan yang tidak memiliki keberpihakan ketika dalam agama tertentu Tuhan dikenal berjenis kelamin pria? Tidakkah sedikit pun itu mengganggu kita bagaimana sejak jaman dulu panutan yang kita taati tanpa bertanya mungkin saja sengaja dibuat untuk menguntungkan kaum lain dan menundukkan kaum yang lainnya?
Bahkan menurut bahasa Jawa, wanita adalah singakatan dari wani ditata atau berani untuk diatur. Kitab-kitab Jawa tidak ada yang ditulis oleh seorang wanita, besar kemungkinan karena wanita tidak pernah mendapat pendidikan dengan alasan ujung-ujungnya hanya disuruh untuk mengurus suami dan anak. Pemikiran yang kita anggap bodoh pada masyarakat jaman dulu tapi ironis kalau kita tahu bahwa sekarang para sarjana, para insinyur, para dokter, para pengacara memilih untuk menelantarkan karirnya dan kembali pada kodratnya untuk mengurus anak dan suami. Pilihan yang sesuai kodratnya.
No comments:
Post a Comment