Menikah mungkin menjadi satu-satunya keputusan yang pernah saya ambil dalam hidup yang jauh dari keegoisan, paling tidak begitulah nampaknya saat itu. Untuk seorang yang punya ambisi untuk menaklukan dunia, menikah tampak seperti satu-satunya checkpoint yang tidak berhubungan dengan cita-cita saya. Seorang yang punya impian sebegitu tinggi, mungkinkah ia menikah dan menyerah terhadap mimpinya, begitu kata teman saya kala itu.
Mereka tidak tahu bahwa saya berpikir sebaliknya, bahwa pernikahan yang saya pilih untuk lakukan adalah batu loncatan lain untuk impian saya. Bukankah seorang butuh kestabilan emosi dan finansial, untuk dapat mengembangkan dirinya lagi? Agaknya teori hirarki kebutuhan begitu terpahat dalam hingga saya selalu menjustifikasi seluruh tindakan sesuai dengan ajaran teori itu. Teori hirarki kebutuhan bilang bahwa kestabilan keluarga dan cinta adalah kebutuhan dasar yang harus seorang penuhi sebelum ia dapat mencapai tahapan selanjutnya untuk menjadi beruang, berprestasi dan yang paling tinggi, untuk diakui.
Maka menikahlah saya dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri, seorang yang begitu penyanyang, pengertian dan bermimpi dengan ‘hemat’. Satunya-satunya hal yang ia inginkan adalah untuk memiliki keluarga yang bahagia. Kesederhanaan mimpinyalah, yang sebenarnya membuat saya begitu hilang kendali atas perasaan saya sendiri. Tidak pernah saya membayangkan ada seorang yang keinginan terbesarnya hanyalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga yang ia bina kelak, sesuatu yang begitu langka dan ‘mahal’ di dunia yang materialis.
Namun orang boleh berangan, dan Tuhan berkata lain, jika memang Tuhan benar adanya. Pernikahan membawa angin lain pada laki-laki saya. Ambisi saya yang terlalu megah dan meluap-luap telah meracuni asanya yang suci. Tidak butuh waktu lama untuk saya bisa menyulutkan cita-cita lain dalam hatinya. Untuk yang pertama kalinya ketika saya bertanya apa yang ia cita-citakan di masa depan ia menjawab ia ingin menjadi sesuatu, bukan sesederhana membina keluarga bahagia. Manalah mungkin saya yang selama ini telah menitikkan nila pada air jernih dalam periuknya, berani untuk tidak mendukung ia yang akhirnya punya keinginan yang lebih muluk seperti manusia yang lain? Manalah mungkin saya yang suka mengejeknya karena ia punya cita-cita yang begitu ‘rendah’, bisa mempertanyakan padanya mengapa pada akhirnya ia memutuskan untuk mengganti cita-citanya menjadi ‘lebih tinggi’?
Apa boleh seorang yang telah berjanji dalam hidupnya, untuk akan selalu setia menemani dalam suka dan duka, dalam mimpi yang rendah ataupun tinggi, tiba-tiba berbalik arah dan menyesali keputusan hidup bersamanya? Apa boleh seorang yang telah begitu yakin ketika pertama memulai tiba-tiba tidak berani maju karena tiba-tiba teman seperjalanannya mengajaknya ke arah yang lain, menuju cita-citanya bukan cita-citaku? Apa boleh seorang yang telah mengenalkan, menanamkan dan menyuburkan suatu benih tiba-tiba memilih untuk tidak lagi menyemai dan memanennya, malahan berusaha untuk mencabutnya dan menjadi puas setelah lahan itu kembali kosong?
Begitu naif sebuah keinginan manusia yang tidak pernah menduga betapa berat menjaga ikrar kehidupan bersamanya di awal, padahal ia tahu bahwa pada manusia tidak pernah ada yang tetap kecuali perubahan. Begitu bodoh seorang awak kapal yang berpikir bahwa keakuannya yang lebih besar akan mengalahkan keakuan kapten kapal dan memanipulasinya untuk bisa mengantarkan ia di pulau yang ia inginkan.
Tapi apa mau dikata, begitulah kehidupan bersama yang walaupun pondasinya adalah cinta, temboknya hanyalah batu bata dan atapnya hanyalah genteng belaka. Memangnya ada di dunia ini seorang yang cukup kaya untuk bisa membangun rumahnya semata berbahan dasar cinta? Toh, jika cinta sebenarnya hanya dibutuhkan untuk pondasi saja mengapa harus menghamburkan cinta untuk membuat satu rumah? Jika seorang punya cinta yang berlebih-lebih, mengapa ia tidak membuat dua, tiga, empat atau sepuluh rumah berpondasi cinta, bertembok batu bata dan beratap genteng yang lain?
Sekarang mimpi untuk memiliki keluarga bahagia tidak terdengar lagi sebagai mimpi yang hemat dan sederhana. Terlebih ketika tidak satu pun di antara kami yang ingin memilih untuk menjadikannya sebagai daftar urutan mimpi pertama kami. Nyatanya berapa keluarga yang benar-benar bahagia? Apakah semua keluarga dimana kedua ayah dan ibunya berhasil mencapai cita-cita duniawinya benar adalah keluarga yang bahagia? Apakah keluarga yang berumah asri dan nyaman, bermobil mewah lebih dari satu, beranak pintar dan sehat adalah keluarga yang bahagia? Kini tidak ada lagi yang bisa saya tanyai tentang arti sebuah keluarga bahagia karena ia yang dulu begitu mengerti mungkin juga sekarang sudah lupa akan mimpi-mimpinya yang pernah membuat saya jatuh cinta. Entahlah.
Mereka tidak tahu bahwa saya berpikir sebaliknya, bahwa pernikahan yang saya pilih untuk lakukan adalah batu loncatan lain untuk impian saya. Bukankah seorang butuh kestabilan emosi dan finansial, untuk dapat mengembangkan dirinya lagi? Agaknya teori hirarki kebutuhan begitu terpahat dalam hingga saya selalu menjustifikasi seluruh tindakan sesuai dengan ajaran teori itu. Teori hirarki kebutuhan bilang bahwa kestabilan keluarga dan cinta adalah kebutuhan dasar yang harus seorang penuhi sebelum ia dapat mencapai tahapan selanjutnya untuk menjadi beruang, berprestasi dan yang paling tinggi, untuk diakui.
Maka menikahlah saya dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri, seorang yang begitu penyanyang, pengertian dan bermimpi dengan ‘hemat’. Satunya-satunya hal yang ia inginkan adalah untuk memiliki keluarga yang bahagia. Kesederhanaan mimpinyalah, yang sebenarnya membuat saya begitu hilang kendali atas perasaan saya sendiri. Tidak pernah saya membayangkan ada seorang yang keinginan terbesarnya hanyalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga yang ia bina kelak, sesuatu yang begitu langka dan ‘mahal’ di dunia yang materialis.
Namun orang boleh berangan, dan Tuhan berkata lain, jika memang Tuhan benar adanya. Pernikahan membawa angin lain pada laki-laki saya. Ambisi saya yang terlalu megah dan meluap-luap telah meracuni asanya yang suci. Tidak butuh waktu lama untuk saya bisa menyulutkan cita-cita lain dalam hatinya. Untuk yang pertama kalinya ketika saya bertanya apa yang ia cita-citakan di masa depan ia menjawab ia ingin menjadi sesuatu, bukan sesederhana membina keluarga bahagia. Manalah mungkin saya yang selama ini telah menitikkan nila pada air jernih dalam periuknya, berani untuk tidak mendukung ia yang akhirnya punya keinginan yang lebih muluk seperti manusia yang lain? Manalah mungkin saya yang suka mengejeknya karena ia punya cita-cita yang begitu ‘rendah’, bisa mempertanyakan padanya mengapa pada akhirnya ia memutuskan untuk mengganti cita-citanya menjadi ‘lebih tinggi’?
Apa boleh seorang yang telah berjanji dalam hidupnya, untuk akan selalu setia menemani dalam suka dan duka, dalam mimpi yang rendah ataupun tinggi, tiba-tiba berbalik arah dan menyesali keputusan hidup bersamanya? Apa boleh seorang yang telah begitu yakin ketika pertama memulai tiba-tiba tidak berani maju karena tiba-tiba teman seperjalanannya mengajaknya ke arah yang lain, menuju cita-citanya bukan cita-citaku? Apa boleh seorang yang telah mengenalkan, menanamkan dan menyuburkan suatu benih tiba-tiba memilih untuk tidak lagi menyemai dan memanennya, malahan berusaha untuk mencabutnya dan menjadi puas setelah lahan itu kembali kosong?
Begitu naif sebuah keinginan manusia yang tidak pernah menduga betapa berat menjaga ikrar kehidupan bersamanya di awal, padahal ia tahu bahwa pada manusia tidak pernah ada yang tetap kecuali perubahan. Begitu bodoh seorang awak kapal yang berpikir bahwa keakuannya yang lebih besar akan mengalahkan keakuan kapten kapal dan memanipulasinya untuk bisa mengantarkan ia di pulau yang ia inginkan.
Tapi apa mau dikata, begitulah kehidupan bersama yang walaupun pondasinya adalah cinta, temboknya hanyalah batu bata dan atapnya hanyalah genteng belaka. Memangnya ada di dunia ini seorang yang cukup kaya untuk bisa membangun rumahnya semata berbahan dasar cinta? Toh, jika cinta sebenarnya hanya dibutuhkan untuk pondasi saja mengapa harus menghamburkan cinta untuk membuat satu rumah? Jika seorang punya cinta yang berlebih-lebih, mengapa ia tidak membuat dua, tiga, empat atau sepuluh rumah berpondasi cinta, bertembok batu bata dan beratap genteng yang lain?
Sekarang mimpi untuk memiliki keluarga bahagia tidak terdengar lagi sebagai mimpi yang hemat dan sederhana. Terlebih ketika tidak satu pun di antara kami yang ingin memilih untuk menjadikannya sebagai daftar urutan mimpi pertama kami. Nyatanya berapa keluarga yang benar-benar bahagia? Apakah semua keluarga dimana kedua ayah dan ibunya berhasil mencapai cita-cita duniawinya benar adalah keluarga yang bahagia? Apakah keluarga yang berumah asri dan nyaman, bermobil mewah lebih dari satu, beranak pintar dan sehat adalah keluarga yang bahagia? Kini tidak ada lagi yang bisa saya tanyai tentang arti sebuah keluarga bahagia karena ia yang dulu begitu mengerti mungkin juga sekarang sudah lupa akan mimpi-mimpinya yang pernah membuat saya jatuh cinta. Entahlah.
No comments:
Post a Comment