Sunday, November 9, 2014

Manalah Mungkin

Menikah mungkin menjadi satu-satunya keputusan yang pernah saya ambil dalam hidup yang jauh dari keegoisan, paling tidak begitulah nampaknya saat itu. Untuk seorang yang punya ambisi untuk menaklukan dunia, menikah tampak seperti satu-satunya checkpoint yang tidak berhubungan dengan cita-cita saya. Seorang yang punya impian sebegitu tinggi, mungkinkah ia menikah dan menyerah terhadap mimpinya, begitu kata teman saya kala itu.

Mereka tidak tahu bahwa saya berpikir sebaliknya, bahwa pernikahan yang saya pilih untuk lakukan adalah batu loncatan lain untuk impian saya. Bukankah seorang butuh kestabilan emosi dan finansial, untuk dapat mengembangkan dirinya lagi? Agaknya teori hirarki kebutuhan begitu terpahat dalam hingga saya selalu menjustifikasi seluruh tindakan sesuai dengan ajaran teori itu. Teori hirarki kebutuhan bilang  bahwa kestabilan keluarga dan cinta adalah kebutuhan dasar yang harus seorang penuhi sebelum ia dapat mencapai tahapan selanjutnya untuk menjadi beruang, berprestasi dan yang paling tinggi, untuk diakui.

Maka menikahlah saya dengan seorang laki-laki pilihan saya sendiri, seorang yang begitu penyanyang, pengertian dan bermimpi dengan ‘hemat’. Satunya-satunya hal yang ia inginkan adalah untuk memiliki keluarga yang bahagia. Kesederhanaan mimpinyalah, yang sebenarnya membuat saya begitu hilang kendali atas perasaan saya sendiri. Tidak pernah saya membayangkan ada seorang yang keinginan terbesarnya hanyalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam keluarga yang ia bina kelak, sesuatu yang begitu langka dan ‘mahal’ di dunia yang materialis.  

Namun orang boleh berangan, dan Tuhan berkata lain, jika memang Tuhan benar adanya. Pernikahan membawa angin lain pada laki-laki saya. Ambisi saya yang terlalu megah dan meluap-luap telah meracuni asanya yang suci. Tidak butuh waktu lama untuk saya bisa menyulutkan cita-cita lain dalam hatinya. Untuk yang pertama kalinya ketika saya bertanya apa yang ia cita-citakan di masa depan ia menjawab ia ingin menjadi sesuatu, bukan sesederhana membina keluarga bahagia. Manalah mungkin saya yang selama ini telah menitikkan nila pada air jernih dalam periuknya, berani untuk tidak mendukung ia yang akhirnya punya keinginan yang lebih muluk seperti manusia yang lain? Manalah mungkin saya yang suka mengejeknya karena ia punya cita-cita yang begitu ‘rendah’, bisa mempertanyakan padanya mengapa pada akhirnya ia memutuskan untuk mengganti cita-citanya menjadi ‘lebih tinggi’?

Apa boleh seorang yang telah berjanji dalam hidupnya, untuk akan selalu setia menemani dalam suka dan duka, dalam mimpi yang rendah ataupun tinggi, tiba-tiba berbalik arah dan menyesali keputusan hidup bersamanya? Apa boleh seorang yang telah begitu yakin ketika pertama memulai tiba-tiba tidak berani maju karena tiba-tiba teman seperjalanannya mengajaknya ke arah yang lain, menuju cita-citanya bukan cita-citaku? Apa boleh seorang yang telah mengenalkan, menanamkan dan menyuburkan suatu benih tiba-tiba memilih untuk tidak lagi menyemai dan memanennya, malahan berusaha untuk mencabutnya dan menjadi puas setelah lahan itu kembali kosong?

Begitu naif sebuah keinginan manusia yang tidak pernah menduga betapa berat menjaga ikrar kehidupan bersamanya di awal, padahal ia tahu bahwa pada manusia tidak pernah ada yang tetap kecuali perubahan. Begitu bodoh seorang awak kapal yang berpikir bahwa keakuannya yang lebih besar akan mengalahkan keakuan kapten kapal dan memanipulasinya untuk bisa mengantarkan ia di pulau yang ia inginkan.

Tapi apa mau dikata, begitulah kehidupan bersama yang walaupun pondasinya adalah cinta, temboknya hanyalah batu bata dan atapnya hanyalah genteng belaka. Memangnya ada di dunia ini seorang yang cukup kaya untuk bisa membangun rumahnya semata berbahan dasar cinta? Toh, jika cinta sebenarnya hanya dibutuhkan untuk pondasi saja mengapa harus menghamburkan cinta untuk membuat satu rumah? Jika seorang punya cinta yang berlebih-lebih, mengapa ia tidak membuat dua, tiga, empat atau sepuluh rumah berpondasi cinta, bertembok batu bata dan beratap genteng yang lain?

Sekarang mimpi untuk memiliki keluarga bahagia tidak terdengar lagi sebagai mimpi yang hemat dan sederhana. Terlebih ketika tidak satu pun di antara kami yang ingin memilih untuk menjadikannya sebagai daftar urutan mimpi pertama kami. Nyatanya berapa keluarga yang benar-benar bahagia? Apakah semua keluarga dimana kedua ayah dan ibunya berhasil mencapai cita-cita duniawinya benar adalah keluarga yang bahagia? Apakah keluarga yang berumah asri dan nyaman, bermobil mewah lebih dari satu, beranak pintar dan sehat adalah keluarga yang bahagia? Kini tidak ada lagi yang bisa saya tanyai tentang arti sebuah keluarga bahagia karena ia yang dulu begitu mengerti mungkin juga sekarang sudah lupa akan mimpi-mimpinya yang pernah membuat saya jatuh cinta. Entahlah.

Menyoal Kodrat Laki-Laki dan Wanita

Setelah 50 tahun lebih Simone de Beauvoir menulis tentang wanita yang selalu menjadi warga kelas dua dalam the Second Sex, tibalah pada masa kini dimana emansipasi dianggap sudah tidak diperlukan lagi. Masa kini dimana hak wanita kini sudah ‘lebih’ diakui di mata laki-laki hingga membuat laki-laki yang hidup di jaman sekarang menjadi laki-laki yang lebih ‘toleran’ dan ‘adil’ dibanding laki-laki di jaman Beauvoir atau RA Kartini. Hak untuk mendapat pendidikan, hak politik untuk dipilih dan memilih, serta hak mendapatkan penghasilan yang sama dengan laki-laki untuk beban kerja yang sama, sekarang akhirnya sudah dikembalikan pada empunya hingga kini pertanyaannya adalah apakah wanita telah sampai di ujung perjuangan emansipasinya?

Banyak yang berkata bahwa emansipasi itu sudah menjamur dan tidak diperlukan lagi, diikuti dengan penyebutan contoh-contoh keberhasilan perjuangan emansipasi wanita Indonesia, salah satunya adalah terpilihanya Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden RI tahun 2001-2004. Tapi apa benar wanita Indonesia sudah memiliki pilihan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki?

Dengan modal IQ yang rata-rata sama, wanita dibekali ketekunan yang lebih tinggi dari pada laki-laki, tapi cukup mengherankan bahwa hanya sedikit wanita yang bisa sampai pada puncak kariernya. Terlebih jika melihat ranking IPK tertinggi pada kelulusan yang biasanya didominasi oleh wanita, tidakkah terbersit pikiran untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi hingga mereka pada akhirnya tidak dapat mempertahankan pencapaiannya untuk tetap berada di puncak klasemen?

Mungkin salah satu alasannya adalah sampai saat ini wanita tetap dihadapakan pada pilihan untuk memilih antara karier dan keluarga. Hasri Ainun Besari seorang yang dikenal sangat pandai di kelasnya dulu hingga kepandaiannya dianggap setara dengan BJ Habibie, yang kelak menjadi suaminya, oleh guru-gurunya semasa di sekolah, adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selepas lulus menjadi dokter umum, Ainun, yang selanjutnya lebih dikenal dnegan nama Ainun Habibie, melanjutkan pendidikannya untuk menjadi dokter spesialis Anak di Universitas yang sama. Sayangnya, setelah menikah dengan Habibie, Ainun harus rela berhenti dari pendidikannya dan memilih untuk mendampingi Habibie terbang ke Jerman. Di fase hidupnya yang selanjutnya Ainun yang rindu untuk dapat mempraktekkan keilmuannya, kembali menjadi dokter setelah mendapat restu dari Habibie sehingga bekerja lah ia di suatu Rumah Sakit di Jerman. Namun, baru beberapa saat bekerja Ainun memutuskan untuk menyerah menjadi dokter, kali ini untuk selamanya, karena tak tega melihat anaknya yang tidak terurus. Ainun kemudian lebih dikenal kiprahnya sebagai seorang istri dan ibu yang penuh cinta kasih dan pengertian yang terus mendampingi suaminya hingga di akhir hayatnya, dibanding sumbangan dan pengabdian di bidang keilmuannya. Pilihan Ainun dianggap sebagai hal yang wajar karena ia mengikuti kodratnya sebagai wanita, yang terlahir untuk setia dan welas asih bukan untuk melakukan pekerjaan yang lain.

Wanita yang bekerja sering disalahkan karena anak-anak yang tidak terurus atau laki-laki yang selingkuh. Istri yang sibuk bekerja dan menjadi kurang perhatian pada suami adalah pembenaran yang umum didengar dari laki-laki yang berselingkuh. Mungkin seorang boleh bertanya, seberapa besar perhatian yang sebenarnya dibutuhkan laki-laki hingga ia tidak mungkin berselingkuh? Bukankah seorang laki-laki yang sudah berpoligami malah cenderung untuk terus dapat menambah istrinya? Apakah benar kerinduan belaka ataukah keserakahan yang tidak diakui semata yang menjadi alasan utama perselingkuhan?

Mungkin di antara kita banyak yang heran, pada jaman yang sekarang sudah ‘setara’ ini, mengapapengguguran kandungan lebih sering pada bayi perempuan daripada bayi laki-laki? Mengapa banyak orang yang menolak kontrasepsi dengan alasan menunggu kelahiran seorang putra? Mengapa banyak yang lebih mengidamkan kelahiran bayi laki-laki daripada bayi perempuan? Seorang laki-laki tidak pernah dihadapkan pada pertanyaan apa yang akan ia pilih antara karir atau keluarga, semata-mata karena ia adalah laki-laki.

Laki-laki tidak akan pernah disalahkan karena anak-anak yang kurang perhatian atau keluarga yang carut marut. Bukankah tugas utama laki-laki adalah untuk mencari nafkah? Bukankah laki-laki terlahir untuk lebih berpikir daripada merasakan? Bukankah wajar bila laki-laki yang giat bekerja lalu tidak dapat mengurus keluarganya? Bukankah itu kodratnya?

Kodrat adalah garisan takdir yang secara umum telah didogmakan agama secara membabi-buta pada penganutnya, percaya tidak percaya, ya harus percaya. Baik itu Al-Qur’an, Al Kitab, Tripitaka, dan kitab-kitab lain yang pernah ditulis sebagai panutan agama, wanita selalu digambarkan sebagai makhluk yang menjadi lem pada cangkir bukan teko yang memberi air. Tidakkah anjuran ini terdengar sangat memihak ketika kita tahu bahwa para nabi yang menyampaikan ajarannya adalah laki-laki? Mungkinkah mereka menyampaikan sesuatu yang tidak menguntungkan bagi kaumnya? Lalu apa yang dapat kita jadikan bukti, jika Tuhan memang ada, bahwa perkataan itu adalah perkataan Tuhan yang tidak memiliki keberpihakan ketika dalam agama tertentu Tuhan dikenal berjenis kelamin pria? Tidakkah sedikit pun itu mengganggu kita bagaimana sejak jaman dulu panutan yang kita taati tanpa bertanya mungkin saja sengaja dibuat untuk menguntungkan kaum lain dan menundukkan kaum yang lainnya?

Bahkan menurut bahasa Jawa, wanita adalah singakatan dari wani ditata atau berani untuk diatur. Kitab-kitab Jawa tidak ada yang ditulis oleh seorang wanita, besar kemungkinan karena wanita tidak pernah mendapat pendidikan dengan alasan ujung-ujungnya hanya disuruh untuk mengurus suami dan anak. Pemikiran yang kita anggap bodoh pada masyarakat jaman dulu tapi ironis kalau kita tahu bahwa sekarang para sarjana, para insinyur, para dokter, para pengacara memilih untuk menelantarkan karirnya dan kembali pada kodratnya untuk mengurus anak dan suami. Pilihan yang sesuai kodratnya.